JAKARTA (Suara Karya): Peraturan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permenakertrans) tentang sistem kerja
alih daya (outsourcing) diharapkan lebih berpihak kepada kaum buruh dan
pekerja.
Berdasarkan rancangan Permenakertrans
yang masih difinalisasi di tingkat Lembaga Kerja Sama (LKS) Tripartit Nasional,
masih banyak kekurangan dan ketidakjelasan pengaturan tentang outsourcing yang
arahnya juga akan merugikan pihak buruh.
Anggota Presidium Majelis Pekerja Buruh
Indonesia (MPBI) Said Iqbal mengatakan, penolakan itu sangat beralasan.
Seharusnya dicantumkan atau ada pasal yang secara jelas dan tegas terkait
batasan/larangan dalam pelaksanaan outsourcing. Dalam hal ini harus ada acuan
secara mendetail mengenai jenis-jenis pekerjaan yang dilarang dialihdayakan.
"Larangan dan batasannya harus
jelas atau mendetail. Namun dalam draf Permenakertrans yang baru tentang
outsourcing belum ada," kata Said Iqbal yang juga Presiden Konfederasi
Serikat Pekerja Indonesia (K-SPI) di Jakarta, Jumat (12/10).
Selain itu, menurut dia, belum ada
sanksi tegas bagi pemberi kerja yang melanggar atau melakukan penyimpangan
dalam pelaksanaan outsourcing. Dalam hal ini, seharusnya dalam Permenakertrans
tercantum sanksi berupa pencabutan izin usaha, ancaman perdata, dan pidana. Ini
dilakukan sebagai upaya untuk menimbulkan efek jera.
“
Sekadar informasi, berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, pekerjaan yang boleh dilakukan secara alih daya terbatas pada
5 jenis. Kelima jenis pekerjaan itu ialah jasa kebersihan (cleaning service),
keamanan, transportasi, katering, dan jasa penunjang pertambangan. Ini harus
dituangkan dalam kontrak/perjanjian tertulis dengan pekerja. Namun draf
Permenakertrans justru tetap membuka peluang bagi jenis pekerjaan lain untuk
menggunakan sistem alih daya. “
"Itu pun harus jelas hubungan
pekerja apakah sebagai karyawan tetap atau kontrak. Ini harus dituangkan dalam
perjanjian tertulis. Jadi, jangan ada peluang jenis pekerjaan lain yang boleh
outsourcing selain kelima jenis pekerjaan itu. Karena, akan menimbulkan
penyimpangan lagi di lapangannya," tutur Said Iqbal.
Sementara itu, anggota Komisi IX DPR
Zuber Safawi meminta pemerintah melakukan pembenahan menyeluruh terhadap
pelaksanaan sistem alih daya. Dalam hal ini harus dimulai dari badan usaha
milik negara (BUMN). Pemerintah harus memberi teladan terlebih dahulu, sehingga
pembenahan menyeluruh bisa dimulai dari perusahaan milik negara. Dengan ini,
perusahaan swasta dan lainnya bisa mengikuti.
"Sebab, kondisi yang ada saat ini
masih penuh keraguan. Publik pasti bertanya bagaimana pemerintah mau mengatur
swasta terkait outsourcing apabila perusahaan negara justru memberi contoh yang
buruk.
"Selama ini ada pelanggaran kronis
terhadap UU tentang Ketenagakerjaan. Karena itu, pemerintah perlu menertibkan
penyelenggaraan alih daya yang dimulai dari lingkungan BUMN," ucapnya.
Selain itu, dia juga meminta pemerintah
membuat skema baru untuk para buruh alih daya dan kontrak yang sesuai dengan
regulasi ketenagakerjaan.
"Upah mereka harus lebih besar
minimal 25 persen dari upah buruh tetap. Ini untuk mengompensasi perlindungan,
tunjangan, dan lain-lain yang tidak didapat buruh kontrak," katanya.
Menurut dia, para pekerja yang
mengerjakan pekerjaan alih daya dan berstatus kontrak diberi kesetaraan atau
bahkan lebih baik dengan pekerja tetap. Ini sesuai dengan semangat UU
Ketenagakerjaan yang berlaku.
"Jadi, perusahaan penyedia jasa
alih daya yang tidak memenuhi syarat dan menzalimi pekerjanya harus dicabut
izinnya. Buruh kontrak tersebut harus diangkat oleh pemberi kerja,"
ujarnya.
Menurut dia, Pasal 65 dan 66 UU
Ketenagakerjaan menyebutkan klausul bahwa apabila syarat-syarat alih daya tidak
dipenuhi oleh penyedia jasa alih daya, maka perjanjian kerja beralih ke
perusahaan pengguna dengan pekerja bersangkutan.
Di lain pihak, Sekretaris Jenderal
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Suryadi Sasmita mengatakan, permintaan
kaum buruh agar pemerintah menghapus sistem alih daya (outsourcing) dinilai
kurang tepat karena UU Nomor 13 Tahun 2003 menjelaskan secara mendetail tentang
sistem itu. Sebab, UU dinilai sudah jelas mengatur alih daya mulai dari
definisi hingga petunjuk teknis.
Menurut dia, praktik alih daya memang
tidak dapat dilepaskan dalam suatu perusahaan. Hal ini disebabkan operasional
pabrik berhubungan erat dengan kontrak order pembelian produk dengan para
pembeli.
"Jika kontrak pembelian hanya
dilakukan setahun, maka saat permintaan kosong apakah gaji pekerja yang tidak
bekerja harus dibebankan kepada pengusaha? Itu yang kami keluhkan,"
ujarnya.
Untuk diketahui, dalam pertemuan
Lembaga Kerja Sama (LKS) Tripartit Nasional di Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi, Kamis (11/10), disepakati pelaksanaan outsourcing harus diawasi
lebih ketat dari saat ini dan diatur melalui perjanjian kerja waktu tertentu
(PKWT) atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT).
"Ada kemajuan dan titik temu di
pertemuan tripartit nasional. Hasilnya, antara lain bahwa pemborong pekerjaan
boleh tetap berjalan melalui perjanjian kerja PKWT atau PKWTT. Sedangkan yang
diatur lebih detail adalah penyedia jasa pekerja," kata Menakertrans
Muhaimin Iskandar.
Dia menambahkan, Permenakertrans yang baru
nanti akan membatasi serta menekankan adanya jaminan kompensasi atau jaminan
untuk masa depan pekerja alih daya. Sedangkan dalam pengaturan penyedia jasa
pekerja, jenis pekerjaan yang boleh dilakukan secara alih daya tetap terbatas
pada 5 jenis pekerjaan sesuai dengan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.
sumber www.suarakarya.com, reviewer; bang mul
No comments:
Post a Comment
Mohon tinggalkan komentar sebagai rasa persahabatan terima kasih banyak