• Web
  • Blog Ini
  • Friday, October 12, 2012

    5 Jenis Pekerjaan Yang Bisa Dilakukan Secara OUTSOURCING















    JAKARTA (Suara Karya): Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permenakertrans) tentang sistem kerja alih daya (outsourcing) diharapkan lebih berpihak kepada kaum buruh dan pekerja.

    Berdasarkan rancangan Permenakertrans yang masih difinalisasi di tingkat Lembaga Kerja Sama (LKS) Tripartit Nasional, masih banyak kekurangan dan ketidakjelasan pengaturan tentang outsourcing yang arahnya juga akan merugikan pihak buruh.

    Anggota Presidium Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) Said Iqbal mengatakan, penolakan itu sangat beralasan. Seharusnya dicantumkan atau ada pasal yang secara jelas dan tegas terkait batasan/larangan dalam pelaksanaan outsourcing. Dalam hal ini harus ada acuan secara mendetail mengenai jenis-jenis pekerjaan yang dilarang dialihdayakan.

    "Larangan dan batasannya harus jelas atau mendetail. Namun dalam draf Permenakertrans yang baru tentang outsourcing belum ada," kata Said Iqbal yang juga Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (K-SPI) di Jakarta, Jumat (12/10).

    Selain itu, menurut dia, belum ada sanksi tegas bagi pemberi kerja yang melanggar atau melakukan penyimpangan dalam pelaksanaan outsourcing. Dalam hal ini, seharusnya dalam Permenakertrans tercantum sanksi berupa pencabutan izin usaha, ancaman perdata, dan pidana. Ini dilakukan sebagai upaya untuk menimbulkan efek jera.

    “ Sekadar informasi, berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pekerjaan yang boleh dilakukan secara alih daya terbatas pada 5 jenis. Kelima jenis pekerjaan itu ialah jasa kebersihan (cleaning service), keamanan, transportasi, katering, dan jasa penunjang pertambangan. Ini harus dituangkan dalam kontrak/perjanjian tertulis dengan pekerja. Namun draf Permenakertrans justru tetap membuka peluang bagi jenis pekerjaan lain untuk menggunakan sistem alih daya. “

    "Itu pun harus jelas hubungan pekerja apakah sebagai karyawan tetap atau kontrak. Ini harus dituangkan dalam perjanjian tertulis. Jadi, jangan ada peluang jenis pekerjaan lain yang boleh outsourcing selain kelima jenis pekerjaan itu. Karena, akan menimbulkan penyimpangan lagi di lapangannya," tutur Said Iqbal.

    Sementara itu, anggota Komisi IX DPR Zuber Safawi meminta pemerintah melakukan pembenahan menyeluruh terhadap pelaksanaan sistem alih daya. Dalam hal ini harus dimulai dari badan usaha milik negara (BUMN). Pemerintah harus memberi teladan terlebih dahulu, sehingga pembenahan menyeluruh bisa dimulai dari perusahaan milik negara. Dengan ini, perusahaan swasta dan lainnya bisa mengikuti.

    "Sebab, kondisi yang ada saat ini masih penuh keraguan. Publik pasti bertanya bagaimana pemerintah mau mengatur swasta terkait outsourcing apabila perusahaan negara justru memberi contoh yang buruk.

    "Selama ini ada pelanggaran kronis terhadap UU tentang Ketenagakerjaan. Karena itu, pemerintah perlu menertibkan penyelenggaraan alih daya yang dimulai dari lingkungan BUMN," ucapnya.

    Selain itu, dia juga meminta pemerintah membuat skema baru untuk para buruh alih daya dan kontrak yang sesuai dengan regulasi ketenagakerjaan.

    "Upah mereka harus lebih besar minimal 25 persen dari upah buruh tetap. Ini untuk mengompensasi perlindungan, tunjangan, dan lain-lain yang tidak didapat buruh kontrak," katanya.
    Menurut dia, para pekerja yang mengerjakan pekerjaan alih daya dan berstatus kontrak diberi kesetaraan atau bahkan lebih baik dengan pekerja tetap. Ini sesuai dengan semangat UU Ketenagakerjaan yang berlaku.

    "Jadi, perusahaan penyedia jasa alih daya yang tidak memenuhi syarat dan menzalimi pekerjanya harus dicabut izinnya. Buruh kontrak tersebut harus diangkat oleh pemberi kerja," ujarnya.

    Menurut dia, Pasal 65 dan 66 UU Ketenagakerjaan menyebutkan klausul bahwa apabila syarat-syarat alih daya tidak dipenuhi oleh penyedia jasa alih daya, maka perjanjian kerja beralih ke perusahaan pengguna dengan pekerja bersangkutan.

    Di lain pihak, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Suryadi Sasmita mengatakan, permintaan kaum buruh agar pemerintah menghapus sistem alih daya (outsourcing) dinilai kurang tepat karena UU Nomor 13 Tahun 2003 menjelaskan secara mendetail tentang sistem itu. Sebab, UU dinilai sudah jelas mengatur alih daya mulai dari definisi hingga petunjuk teknis.

    Menurut dia, praktik alih daya memang tidak dapat dilepaskan dalam suatu perusahaan. Hal ini disebabkan operasional pabrik berhubungan erat dengan kontrak order pembelian produk dengan para pembeli.

    "Jika kontrak pembelian hanya dilakukan setahun, maka saat permintaan kosong apakah gaji pekerja yang tidak bekerja harus dibebankan kepada pengusaha? Itu yang kami keluhkan," ujarnya.

    Untuk diketahui, dalam pertemuan Lembaga Kerja Sama (LKS) Tripartit Nasional di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kamis (11/10), disepakati pelaksanaan outsourcing harus diawasi lebih ketat dari saat ini dan diatur melalui perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT).

    "Ada kemajuan dan titik temu di pertemuan tripartit nasional. Hasilnya, antara lain bahwa pemborong pekerjaan boleh tetap berjalan melalui perjanjian kerja PKWT atau PKWTT. Sedangkan yang diatur lebih detail adalah penyedia jasa pekerja," kata Menakertrans Muhaimin Iskandar.

    Dia menambahkan, Permenakertrans yang baru nanti akan membatasi serta menekankan adanya jaminan kompensasi atau jaminan untuk masa depan pekerja alih daya. Sedangkan dalam pengaturan penyedia jasa pekerja, jenis pekerjaan yang boleh dilakukan secara alih daya tetap terbatas pada 5 jenis pekerjaan sesuai dengan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

    sumber www.suarakarya.com, reviewer; bang mul

    No comments:

    Post a Comment

    Mohon tinggalkan komentar sebagai rasa persahabatan terima kasih banyak