• Web
  • Blog Ini
  • Tuesday, September 11, 2012

    Sistem Kerja Outsourcing Ibarat Buah Simalakama Bagi Pekerja

    OUTSOURCING VS PENGUSAHA = PEMERINTAH ?????

    Outsourcing atau alih daya merupakan proses pemindahan tanggung jawab tenaga kerja dari perusahaan induk ke perusahaan lain di luar perusahaan induk. Perusahaan di luar perusahaan induk bisa berupa vendor, koperasi, atau instansi lain yang diatur dalam suatu kesepakatan tertentu. 

    Wakil Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Sofian Abdul Latif, berpendapat, konsep outsourcing di Indonesia harus dihapuskan. ”Outsourcing adalah bentuk eksploitasi terhadap manusia. Manusia dianggap sebagai komoditas,” katanya.

    Senada Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Kongres Malang, Yorris Raweyay, berpendapat system kerja outsourcing merupakan sebuah bentuk perbudakan modern.  

    Putusan MK

    Pada pekerja atau buruh semakin semangat dalam menunut dihapusnya system kerja outsourcing setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan keputusan soal itu.  
    Pada Jumat, 20 Januari 2012, MK mengabulkan sebagian uji materil UU 13 / 2003 tentang Ketenagakerjaan yang diajukan Didik Suprijadi, pekerja dari Alinsi Petugas Pembaca Meter Listrik Indonesia (AP2ML).

    Dalam putusannya MK menilai, pekerjaan yang memiliki obyek tetap tak bisa lagi dikerjakan lewat mekanisme kontrak atau outsourcing.  
    MK menilai, UU Ketenagakerjaan tidak memberi jaminan kepastian bagi pekerja/buruh outsourcing untuk bekerja dan mendapatkan imbalan serta perlakuan yang layak dalam hubungan kerja dan tidak adanya jaminan bagi pekerja.

    Pekerja-pekerja seperti Didik Suprijadi, yang inti pekerjaannya membaca meteran listrik, tidak dibenarkan dipekerjakan secara outsourcing karena obyek kerjanya tetap.
    Sistem outsourcing atau perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dengan menggunakan jasa perusahaan penyedia tenaga kerja hanya bisa dilakukan untuk pekerjaan yang objeknya tak tetap. Objek tak tetap contohnya pekerjaan pembangunan.

    Banyak analis berpendapat, inti putusan MK ini artinya tidak lagi memberi kesempatan pada sebuah perusahaan untuk memberikan pekerjaan yang sifat objeknya tetap meskipun itu bersifat penunjang seperti cleaning service, pengamanan, kurir dan lainnya.

    Alhasil, bank-bank yang saat ini banyak mempekerjakan teller atau costumer service menggunakan sistem outsourcing tidak dibenarkan lagi.  

    Tanggapan Apindo

    Putusan MK tersebut, ternyata tidak bisa diterima begitu saja oleh para pengusaha paling tidak para pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). Sekretaris Umum Apindo, Suryadi Sasmita, berpendapat, sistem oursourcing masih dibutuhkan saat ini, sehingga sistem ini belum dapat dihapuskan sepenuhnya dari aturan ketenagakerjaan yang ada. 

    Menurut Suryadi, aturan mengenai outsourcing  dalam UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, belum jelas. Karena itu, Apindo mengajukan revisi atas UU tersebut. ”Sebetulnya, hanya beberapa pasal yang diubah. Salah satunya outsourcing diperjelas, mana yang boleh dan mana yang tidak,” jelasnya.
    Suryadi menjelaskan, dari sudut pandang pengusaha, beberapa bidang perlu menggunakan jasa outsourcing karena membutuhhkan keterampilan dan pengetahuan khusus. Namun, tidak sedikit pula jenis outsourcing yang tidak boleh digunakan.

    ”Misalnya, outsourcing cleaning service. Mereka dapat Jamsostek, punya dana pensiun, nah itu boleh. Yang tidak boleh, misalnya, sekretaris yang kontrak,” kata dia.  
    Bahkan Ketua Bidang Pengupahan dan Jaminan Sosial, Apindo, Hariyadi Sukamdani, dalam acara konferensi pers sesaat setelah MK membacakan putusan tersebut, mengatakan, putusan MK tersebut  dikhawatirkan akan terjadi pengurangan jumlah tenaga kerja yang ada secara sistematis. Perusahaan outsourcing atau alih daya harus memutuskan karyawannya menjadi karyawan tetap yang menjadi beban.  

    Hariyadi mengatakan, perusahaan outsourcing harus melakukan karyawannya menjadi karyawan tetap yang mengakibatkan biaya naik yang juga akan berpengaruh kepada perusahaan pengguna.

    Pendapat Pemerintah

    Pemerintah melalui melalui Menko Perekonomian, Hatta Radjasa, berpendapat, putusan MK itu sudah final, oleh karena itu tidak diperdebatkan dan harus dilaksanakan.  
    Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Muhaimin Iskandar, dalam beberapa kesempatan, mengatakan, outsourcing hanya diperbolehkan bila sesuai dengan UU 13/2033 tentang Ketenagakerjaan, terutama pasal 64-66 dan putusan MK.  

    Apabila pelaksanaan outsourcing di luar UU tersebut dan tidak sesuai dengan keputusan MK, outsourcing itu dibatalkan serta dilarang. Memang agak aneh dengan pendapat Muhaimin ini, karena MK sudah membatalkan sebagian dari pasal 64 – 66 tentang Tenaga Kerja ini.

    Di bagian lain Muhaimin juga mengatakan, pihaknya akan melakukan moratorium (penghentian sementara) penerbitan izin baru bagi perusahaan alih daya (outsourcing). Hal ini dilakukan sampai dengan selesainya proses pendataan, verifikasi dan penataan ulang perusahaan-perusahaan outsoursing pada September 2012 ini.  
    Langkah penghentian perizinan perusahaan outsourcing ini untuk membenahi praktik outsourcing. “Status moratorium terhadap penerbitan izin bagi perusahaan outsourcing ini akan diterapkan sampai selesainya pendataan atau inventarisasi terhadap perusahaan tersebut di berbagai daerah,” terang Muhaimin.

    Menurutnya, sejak bulan September 2012 Kemenakertrans sudah menerbitkan surat edaran kepada gubernur dan bupati/walikota. Isinya, agar daerah juga menginventarisasi dan mendata perusahaan outsourcing beserta jumlah pekerja outsourcing di wilayah masing-masing.
    Dijelaskannya, inventarisasi perusahaan-perusahaan outsourcing itu sekaligus sebagai upaya evaluasi terhadap perusahaan yang tidak kredibel yang terindikasi merugikan pekerja.

    Apabila perusahaan outsourcing yang terdata tidak kredibel, maka Kemenakertrans akan menutupnya.   
    “Terhadap perusahaan-perusahan outsourcing yang tidak kredibel, merugikan dan memeras, langsung saya minta untuk ditutup. Dan tidak ada izin baru, selagi perusahaan yang ada belum kita benahi.

    Saya meminta kepada semua pihak untuk tidak memberikan ijin baru," kata Muhaimin.

    Sedangkan mengenai tuntutan revisi UU Tenaga Kerja secara keseluruhan, Muhamin menegaskan, alternatif-alternatif penyelesaian persoalan ketenagakerjaan itu tengah digodok Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang diharapkan akhir tahun ini sudah rampung.
    Muhaimin mengatakan, revisi itu tidak sebatas UU 13/2003 tapi juga termasuk sistem jaminan sosial sebagai penyempurnaan Undang-Undang Jamsostek.

    Solusi

    Berbicara masalah Ketenagakerjaan Indonesia, tentu yang harus diingat adalah soal penegakkan hokum di Indonesia dan mutu tenaga kerja Indonesia. Pertama, di Indonesia masih terjadi pemerasan atau pungutan liar (pungli) terhadap para pengusaha. 

    Pelaku pungli ini adalah preman-preman di sebuah wilayah, aparat keamanan, kepala desa dan camat. Pakar ekonomi dari Universitas Pancasila, Bambang Purwoko, mengatakan, untuk menutup biaya pungli ini para pengusaha biaya memotong jatah buruh daripada memotong biaya produksi.
    “Sehingga jangan heran banyak perusahaan yang member gaji buruhnya rendah,” kata dia.

    Bahkan sebagian analis berpendapat, banyak pengusaha memberlakukan system kerja outsourcing karena supaya hemat karena banyaknya pungli.  
    Kedua
    , sumber daya manusia tenaga kerja Indonesia sangat rendah dimana didominasi oleh lulusan Sekolah Dasar (SD). Berdasarkan pendidikan tertinggi yang ditamatkan pada Februari 2012, lulusan SD ke bawah mencapai 10,356 juta orang atau 54,48 persen. Diikuti kemudian lulusan SMP sebesar 17,58 persen, lulusan SMA 12,15 persen, lulusan SMK 8,18 persen dan lulusan pendidikan tinggi atau diploma hanya 1,45 juta orang atau 7,61 persen.  

    Dalam konteks seperti inilah Ketua Umum Apindo, Sofian Wanandi, berpendapat tuntutan para buruh agar hapus upah murah dan outsourcing tidak masuk di akal. Menurut Sofjan, harus dibedakan pekerja yang unskill dan skill serta pekerja formal dan informal. Pekerja atau buruh formal yang mempunyai skill pasti upahnya memadai.  “Yang upah rendah ya yang informal dan tidak mempunyai skill,” kata dia.

    Sedangkan mengenai pemberlakukan sistem kerja outsourcing, kata Sofjan, merupakan amanat UU No 13 Tahun 2003 tentang Tenaga Kerja. “Boleh sistem kerja outsourcing dihapus tetapi revisi dulu UU-nya,” kata dia.  

    Melihat konteks seperti tentu, pertama, para buruh dan pemerintah tidak bisa secara kaku melaksanakan putusan MK. System kerja outsourcing tetap diberlakukan, yang terpenting diberi gaji sesuai UMK dan UMP.

    Selain itu, pelaksanaan outsourcing harus benar-benar diawasi dan sistemnya harus diperbaiki.Seperti Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), kongres Jakarta, Syukur Sarto, mengakui, pelaksanaan outsourcing oleh pengusaha di daerah kerap melanggar aturan pemerintah. Oleh karena itu, dia berharap, pengawasan terhadap pelaksanaan itu harus lebih digalakkan.

    sumber www.suarapembaruan.com, reviewer : bang mul

    No comments:

    Post a Comment

    Mohon tinggalkan komentar sebagai rasa persahabatan terima kasih banyak